Seseorang dengan predikat guru konsumtif maka dalam mengeluarkan uang sangat tidak terkontrol. Pengeluaran uangnya tidak berdasarkan kebutuhan, tetapi lebih didasari pada keinginan nafsu belanja. Benda-benda yang dibeli tidak dikarenakan memang dibutuhkan, melainkan karena sekedar senang.
Tidak sedikit memang yang memiliki predikat guru konsumtif. Mereka bergaya hidup mewah, memiliki mobil mahal, memamerkan perhiasan dan sebagainya. Hutang kepada bank untuk memenuhi kebutuhan konsumtif mereka adalah jalan yang mereka tempuh. Hidupnya selalu gali lobang tutup lobang.
Uang sertifikasi di tangan guru konsumtif
Uang sertifikasi (sekali lagi, meski tidak semuanya) merubah prilaku sebagian guru. Uang sertifikasi yang semestinya digunakan untuk mengembangkan kapasitas dan kualitas pembelajarannya, justru menjadi sarana untuk menjadi guru konsumtif. Sebagian besar digunakan untuk hal-hal yang sama sekali tidak terkait dengan dunia pendidikan.
Kini, banyak guru-guru yang memiliki predikat guru konsumtif. Dana sertifikasi yang diterimanya tidak untuk melanjutkan pendidikannya, mengikuti pelatihan-pelatian profesi keguruan, membeli buku-buku referensi pembelajaran dan pendidikan. Dana tersebut justru digunakan untuk menambah koleksi kendaraan bemotor, perhiasan, memperbaiki rumah, gadget baru dan sebagainya yang kesemuanya tidak terkait dengan profesi keguruan.
Maka menjadi sebuah ironi ketika dana sertifikasi sama sekali tidak dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas pembelajaran dan juga untuk pengembangan diri. Sebaliknya, uang yang diterima karena berpredikat guru profesional menjadikannya guru konsumtif.
Bagi guru konsumtif, dana sertifikasi tidak merubahnya menjadi lebih baik dan berkualitas. Dana yang diterimanya menjadi jalan merubah gaya hidup.
Sumber : http://pendidikan-full.blogspot.com/2014/01/guru-konsumtif.html
0 komentar:
Posting Komentar